Minggu, 21 Oktober 2012

A Finish Line

Harum kopi menusuk hidung saat memasuki cafe ini, biasanya aku menikmati serbuan aromanya yang membaur di udara. Namun, kali ini aku langsung membuang napas sekuatnya, sebab hari ini hari yang berbeda. Hari yang bisa saja membuat aroma kopi menjadi lain maknanya di masa depan sana, mengingatkanku akan kita.

Aku segera mengambil tempat duduk di sudut ruangan, berusaha bersandar nyaman pada sofa empuk yang seolah menjerat bokong konsumen untuk berlama-lama di cafe ini. Seorang waitress menghampiri, ingin menyerahkan menu. Tidak perlu ujarku dengan ungkapan mengangkat tangan, aku sedang malas berbicara lagipula aku sudah tahu hendak memesan apa. Cappucino scuro, ujarku sambil tersenyum.
Waitress itu segera mencatat dan berlalu pergi. Sekitar 10 menit kemudian aroma cappucino menyeruak di hidung ini, mengepulkan asap yang menggoda seolah menari menghantarkan aroma.
 
Sayang, aroma itu tak cukup menggoda, pikiranku sudah kemana-mana, bahkan sejak berbulan-bukan yang lalu. Tentang kamu, selalu mengguncangku, lebih dari yang kamu kira, jauh dari yang aku terka.

Aku mengalihkan pikiran dengan gerakan mengetik password di layar blackberry ku. Sesak napas, saat menyadari bahwa password ini pun berhasil mengaitkan otakku kepadamu. Nama kamu dan aku, akronim untuk password ini. Hh sudahlah.., sugesti diri yang kulakukan berkali-kali namun sepertinya harus dievaluasi karena tak pernah berhasil mengendalikan diri ini. Aku membuka blackberry messenger, mencari namamu, membuka display picture mu, tak ada lagi senyumku di foto itu. Hanya kamu, tentang kamu. Tidak ada lagi aku.
 
Ini hari tergelisah dalam hidupku, bukan pertemuan pertama untuk membicarakan kelanjutan kita. Hhh kelanjutan apa?. Bukannya semuanya sudah berakhir sekian lama. Tapi kenapa rasanya tak pernah biasa. Kita mencari apa? Hendak menyelesaikan apa?. Aku memiringkan kepala, menyisir bagian depan rambut dengan tangan, pengalihan kegelisahan, kebiasaan.
 
Pintu cafe terbuka, kamu jauh didepan sana, berjalan menundukkan kepala lalu mecoba menyapu ruangan mencari dimana aku berada. Jika ini kondisi biasa, aku pasti akan melambaikan tangan sambil melebarkan senyuman. Kamu menemukanku, matamu memandangku, senyuman tipismu menyesakkanku. Langkahmu membuat sosokmu kini hadir dihadapanku. Entah kenapa, kamu selalu tampak tampan dibalutan kemeja, semoga tidak ada wanita lain yang menyadarinya. Aku tertawa dalam hati, punya hak apa memanjatkan doa yang jelas-jelas membentur realita.

Seperti biasa kamu berlagak membolak-balik menu, kubiarkan saja, walau aku tahu kamu pasti hanya memesan apa saja yang sama denganku. Kamu tersenyum sambil berkata, "Hm seperti dia saja minumnya". Benar kan? Bertahun-tahun bersamamu membuatku khatam luar dalam tabiatmu. Hm! tunggu dulu, jika iya begitu, kenapa kita berada dikeadaan ini, dililit keraguan lalu berujung perpisahan.

Aku menyeruput cappucino ku, mengalihkan segala indera agar fokus pada rasanya bukan pada statement-statement yang menari liar di pikiran. Sesungguhnya aku tak ingin lagi ada pertemuan, aku ingin berhenti 'bermain' dengan kenangan. Pertemuan hanya membuat segala pertahanan digetarkan sedu sedan perasaan dan gedoran kerinduan. Melemahkan.

Tapi sungguh aku lelah berlari, biar kali ini hati berperang lagi. Menyelenggarakan perdebatan antara harapan versus keadaan, logika versus perasaan, asa versus realita. Karena suduh cukup malam menyaksikan gerilya berkepanjangan yang tak berkesudahan, berbulan-bulan.

"Bagaimana kabarmu?" tegurmu. Basa-basi macam apa itu. Berhenti ingin mencairkan suasana. Kita sama-sama tahu keadaan tak kan jadi nyaman.

"Jadi bagaimana?" tak kuacuhkan tegurannya, straight to the point saja.
 
Tarikan napas panjang. Tanda start untuk perbincangan. Kamu menjelaskan segalanya, kegelisahan kerinduan keinginan harapan pertimbangan keputusan. Ada kata-kata yang membuatku terenyuh, hampir terpengaruh. Behind the scene keadaanku sebenarnya sedang menggeleng-gelengkan kepala. Aku berusaha sekuat tenaga teguh pendirian. Kamu begitu mengenalku, mudah bagimu mempengaruhiku.

Kamu tak pernah jujur, kamu pikir kebohongan menguatkan. Egomu mengalahkan harapan, tak mau ada permohonan. Kamu kira kamu sudah berusaha. Jika tak ada yang berbeda, apa yang bisa membuatku mengangguk menerima.

Aku ingin tertawa dan menangis dalam waktu yang sama. Kita, karena entah karena saya atau anda, tak pernah berubah sekian lama. Perpisahan tak cukup menggeruskan perbedaan yang signifikan menumpukkan beban. Selalu berujung perdebatan, seolah tak ada yang terkalahkan. Bukannya kita calon suami-istri kenapa jadi seperti para calon presiden RI?
 
Oke, lebih baik aku diam, bukannya aku sudah punya keputusan lalu buat apa melelahkan pikiran untuk memunculkan pertengkaran. Bukannya kamu yang tak pasti?. Masih selalu berdebat antara menanti atau pergi. Sayangnya kamu hanya menyuarakan keinginan bukan gerakan perubahan.
 
Mungkin aku juga yang egois luar biasa. Kelelahanku menjalani proses berkepanjangan, perpaduan antara kesabaran dan penantian, membuatku menghargai keputusan yang dihasilkan. Tentangmu tak pernah sederhana, karena itu selalu ada usaha. Jika sekarang kamu menatapku 'seolah' biasa dan bahagia, ingat pernah ada luka dan airmata dibaliknya. Jangan meremehkan apalagi meragukan.

Ini bukan tentang ketidakpuasan atau keinginan melakukan pencarian. Ini tentang masa depan dan perkembangan. Tak perlu aku menjelaskan. Keadaan sudah memvisualisasikan, hanya saja butuh sedikit lirikan agar kamu berhenti mengacuhkan dan menumbuhkan pemahaman.
 
Kamu menghembuskan napas, terdiam karena tak ada perlawanan. Dengan nada penegasan kamu bilang kita tak kan pernah bisa bersama, jikapun masa depan mempertemukan kamu akan mengalahkan kenyataan. Intinya, tak kan ada sekuel tentang kita di bab hidup selanjutnya.
 
Aku harus bilang apa?. Tak ada. Kata-kata hanya membuat sesak saja, memperkeruh suasana. Dan aku tak kan memenuhi harapanmu yang ingin mendengar komentarku. Agar bisa menangkap sinyal menyesal karena aku begitu siap sendirian.

Kamu tak ingin menghancurkan, kamu merelakan. Iya, Aku juga. Kamu mungkin tak pernah kira, jika aku bisa sedemikian rupa. Dari awal kamu yang menggaungkan perpisahan, pada akhirnya aku yang memutuskan. Sekali ini saja. Dan mungkin itu untuk selamanya.
 
Kamu berdiri, melangkah pergi. Punggungmu yang menjauh, membawa serta identitas 'kita' yang bertahun-tahun lamanya menghias bab cerita. Kita penuh luka, jika bisa diperlihatkan, aku yakin hati kita penuh lebam.
 
Sosokmu tak terjangkau lagi oleh pandangan. Kupandangi cangkir yang berjerak sejengkal dari cangkirku. Milikmu. Seorang kamu yang bukan lagi bagian hidupku. Yang tak bisa lagi kusebut separuh jiwaku.
 
Aku mengalihkan pandangan seraya mengangkat cangkir cappucino ku perlahan. Menyeruputnya pelan, penuh kenikmatan. Kuhirup aromanya dengan tarikan napas dalam. Pengalihan pikiran. Berharap hari ini yang akan lekat di ingatan hanya tentang aroma kopi saja. Tidak tentang kita. Seandainya bisa.


Bandung, 21 Oktober 2012
so many thanks mfn

0 komentar:

Posting Komentar