Hujan tiba-tiba mengguyur deras kota Bandung sore ini, setelah seharian
panas matahari menguasai dunia. Para pengendara motor yang tidak
memakai jas hujan buru-buru menepikan motornya di emperan toko untuk
berteduh. Para pejalan kaki pun mulai berlarian menghindari hujan.
Sebagian dari mereka ada yang melengos pasrah tapi tak sedikit juga yang
mendengus kesal seperti seorang gadis yang sedang berdiri sambil
menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal di depan sebuah lembaga
kursus. Hadirnya hujan makin memperkeruh suasana hatinya yang telah
menunggu di depan tempat kursus itu selama dua jam. Air hujan
memercikkan kotornya tanah ke kaki gadis itu yang bernama Dina. Dina
sedang menunggu jemputan sopirnya, dia menunggu dengan berdiri karena
tempat kursusnya telah tutup dari tadi. Tak ada pilihan lain, dia
terpaksa menikmati hujan yang makin menyebabkan kemacetan. Dina
memandangi jam tangannya, jarum jam menunjukkan pukul setengah 7 malam.
Dia sudah benar-benar tidak sabar, perutnya terasa keroncongan dan
sekarang gara-gara hujan dia kedinginan. Dirogohnya handphone di dalam
tasnya dengan tergesa-gesa, lalu cepat-cepat menekan sebaris nomor
dengan kesal. Terdengar nada sambung, tak beberapa lama ada sahutan di
seberang sana.
“Halo mbak?” sahut suara itu
“Halo, pak Joko dimana?. Kenapa lama sekali?. Dina sudah nunggu disini dua jam Pak, keterlaluan” Dina mengomel dengan sopirnya, Pak Joko.
“Maaf mbak, tadi Bapak mesti mengantar Tuan ke acara meeting. Sekarang sedang terjebak macet mbak, gara-gara hujan. Sepertinya banjir mbak” jawab Pak Joko takut-takut.
“Ahh...kenapa pakai macet segala sih, banjir pula. Ya sudah lah, pokoknya cepat ya Pak. Soalnya Dina sudah kelaparan dan kedinginan!” Dina langsung mematikan handphonenya. Agak menyesal juga dia, karena sudah marah-marah dengan Pak Joko. Padahal ini bukan salah Pak Joko tapi hujan. Lagi-lagi Dina mengutuk hujan dalam hati lalu kemudian menghela napas panjang, berharap emosinya akan sedikit mereda.
“Halo, pak Joko dimana?. Kenapa lama sekali?. Dina sudah nunggu disini dua jam Pak, keterlaluan” Dina mengomel dengan sopirnya, Pak Joko.
“Maaf mbak, tadi Bapak mesti mengantar Tuan ke acara meeting. Sekarang sedang terjebak macet mbak, gara-gara hujan. Sepertinya banjir mbak” jawab Pak Joko takut-takut.
“Ahh...kenapa pakai macet segala sih, banjir pula. Ya sudah lah, pokoknya cepat ya Pak. Soalnya Dina sudah kelaparan dan kedinginan!” Dina langsung mematikan handphonenya. Agak menyesal juga dia, karena sudah marah-marah dengan Pak Joko. Padahal ini bukan salah Pak Joko tapi hujan. Lagi-lagi Dina mengutuk hujan dalam hati lalu kemudian menghela napas panjang, berharap emosinya akan sedikit mereda.
Hujan tak juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti padahal bahu jalan
sudah mulai terendam oleh air, sepertinya banjir akan segera hadir.
Mata Dina tiba-tiba tertumbuk pada sekelompok anak yang berlarian di
tengah hujan dengan membawa payung. Tetapi tak satupun dari mereka yang
menggunakan payung itu untuk menaungi tubuhnya, mereka malah menawarkan
payung-payung itu kepada para pejalan kaki yang berteduh di emperan
toko. Dina memandangi seorang gadis kecil yang memakai baju pink, anak
itu menyita perhatiannya. Sebab dia yang terlihat paling bersemangat dan
bahagia. Dia tertawa kegirangan dan berlari-lari gembira setelah sebuah
mobil melaju kencang menyiramkan air genangan ke pinggir jalan lalu
mengenai tubuhnya. Sepertinya dia menganggap hal itu adalah hiburan dan
permainan di tengah pekerjaanya, ojek payung, itu sebutan bagi mereka.
Dina mengedarkan pandangannya ke anak-anak ojek payung lainnya, sekujur
tubuh mereka basah tapi tak satupun mendengus kesal seperti dirinya.
Dina menggelengkan kepalanya, tak habis pikir anak-anak seusia mereka
terpaksa harus bekerja.
“Teteh payung teh?” Dina terlonjak kaget, anak berbaju pink itu tiba-tiba sudah ada disamping Dina sambil menawarkan payungnya dengan tersenyum ceria. Menggemaskan. Mengingatkan Dina dengan sosok adiknya, Lisa, yang telah ‘pergi’ karena demam berdarah yang menyerangnya. Sudah dua tahun peristiwa itu berlalu, tapi luka itu masih tetap ada. Dina tersenyum kecut, dadanya terasa sesak.
“Nggak adek. Terima kasih” tolak Dina halus. Anak itu tersenyum lalu beranjak pergi. Tiba-tiba Dina memanggilnya kembali, ada keinginan untuk mengenal anak itu.
“Adek!” anak itu mendatangi Dina lagi dengan tersenyum lebar.
“Teteh jadi payungnya?” tanyanya dengan ceria. Dina menggeleng.
“Nggak. Adek temani teteh ngobrol aja ya?” pinta Dina sambil tersenyum. Anak itu tampak ragu.
“Kenapa dek?”
“Dibayar nggak teh?” Dina tertawa dengan pertanyaan polos anak itu.
“Pasti!”
“Ya udah. Ririn mau temanin teteh ngobrol deh!” jawabnya gembira.
“Oh..jadi namanya Ririn?. Kenalin teteh namanya Dina”
“Teh Dina” anak itu mengulanginya.
“Iya bener. Eh Ririn kok main hujan sih Rin? Ntar sakit loh, basah gini lagi bajunya”
“ Ih teteh, Ririn mah nggak main hujan. Tapi ririn kerja teh, ojek payung!” jawabnya bangga sambil bergaya dengan mengehentakkan payungnya, Dina tertawa. “Makanya Ririn udah kebal sama yang namanya hujan!” Ririn tertawa nyengir.
“Hebat. Jago nih si Ririn!” Dina mengacungkan jempolnya sambil tertawa.
“Iya dong. Oh iya, Ririn juga ngamen Teh di sekitar sini kalau nggak hujan, setiap hari. Suara Ririn bagus loh!” lalu tanpa malu-malu, Ririn menyanyikan lagu bintang kecil sambil bergaya ngebor seperti penyanyi favoritnya. Dina tertawa terbahak-bahak.
Selanjutnya obrolan mereka mengalir begitu saja. Ternyata Ririn mencari uang seperti ini agar dia bisa membeli obat untuk Ayahnya yang sedang sakit. Dina merasa kagum dengan gadis kecil ini atas segala perjuangan yang dilakukannya untuk keluarga. Sementara Dina selalu saja bersifat manja dan hanya biasa meminta. Dina merasa ‘kecil’, dia tidak pernah tahu betapa hujan itu sangat berarti untuk seseorang seperti Ririn.Dina meminta agar Ririn bisa menemaninya menunggu jemputan seperti ini setiap Dina pulang dari les. Dina seperti merasa menemukan sosok seorang Adik lagi di diri Ririn yang begitu dia kagumi.
“Teteh payung teh?” Dina terlonjak kaget, anak berbaju pink itu tiba-tiba sudah ada disamping Dina sambil menawarkan payungnya dengan tersenyum ceria. Menggemaskan. Mengingatkan Dina dengan sosok adiknya, Lisa, yang telah ‘pergi’ karena demam berdarah yang menyerangnya. Sudah dua tahun peristiwa itu berlalu, tapi luka itu masih tetap ada. Dina tersenyum kecut, dadanya terasa sesak.
“Nggak adek. Terima kasih” tolak Dina halus. Anak itu tersenyum lalu beranjak pergi. Tiba-tiba Dina memanggilnya kembali, ada keinginan untuk mengenal anak itu.
“Adek!” anak itu mendatangi Dina lagi dengan tersenyum lebar.
“Teteh jadi payungnya?” tanyanya dengan ceria. Dina menggeleng.
“Nggak. Adek temani teteh ngobrol aja ya?” pinta Dina sambil tersenyum. Anak itu tampak ragu.
“Kenapa dek?”
“Dibayar nggak teh?” Dina tertawa dengan pertanyaan polos anak itu.
“Pasti!”
“Ya udah. Ririn mau temanin teteh ngobrol deh!” jawabnya gembira.
“Oh..jadi namanya Ririn?. Kenalin teteh namanya Dina”
“Teh Dina” anak itu mengulanginya.
“Iya bener. Eh Ririn kok main hujan sih Rin? Ntar sakit loh, basah gini lagi bajunya”
“ Ih teteh, Ririn mah nggak main hujan. Tapi ririn kerja teh, ojek payung!” jawabnya bangga sambil bergaya dengan mengehentakkan payungnya, Dina tertawa. “Makanya Ririn udah kebal sama yang namanya hujan!” Ririn tertawa nyengir.
“Hebat. Jago nih si Ririn!” Dina mengacungkan jempolnya sambil tertawa.
“Iya dong. Oh iya, Ririn juga ngamen Teh di sekitar sini kalau nggak hujan, setiap hari. Suara Ririn bagus loh!” lalu tanpa malu-malu, Ririn menyanyikan lagu bintang kecil sambil bergaya ngebor seperti penyanyi favoritnya. Dina tertawa terbahak-bahak.
Selanjutnya obrolan mereka mengalir begitu saja. Ternyata Ririn mencari uang seperti ini agar dia bisa membeli obat untuk Ayahnya yang sedang sakit. Dina merasa kagum dengan gadis kecil ini atas segala perjuangan yang dilakukannya untuk keluarga. Sementara Dina selalu saja bersifat manja dan hanya biasa meminta. Dina merasa ‘kecil’, dia tidak pernah tahu betapa hujan itu sangat berarti untuk seseorang seperti Ririn.Dina meminta agar Ririn bisa menemaninya menunggu jemputan seperti ini setiap Dina pulang dari les. Dina seperti merasa menemukan sosok seorang Adik lagi di diri Ririn yang begitu dia kagumi.
***
Sudah dua minggu ini, Ririn rutin menemani Dina menunggu jemputan. Dina
jadi begitu menyayangi Ririn. Anak ini selalu tampak ceria tanpa
keluhan. Walaupun dia harus terbakar sinar matahari saat mengamen
ataupun terguyur derasnya hujan saat menjadi ojek payung, Ririn selalu
tampak bahagia. Dia selalu tampak berusaha bersyukur atas apapun
keadaannya.
“Ririn pengen deh sekolah” tiba-tiba Ririn berkata seperti itu saat melihat Dina yang kebetulan memakai seragam putih abu-abunya, karena dia langsung berangkat kursus sepulang sekolah tadi.
“Beneran pengen?” Dina mencolek pipi Ririn. Ririn tertawa nyengir.
“Tapi ntar aja deh teh. Ririn mau cari duit dulu buat Ayah biar sembuh!” Dina merasa hatinya nyilu. Berapa banyak lagi anak-anak di negeri ini yang mempunyai mimpi seperti Ririn tapi tak pernah bisa terwujud karena keterbatasan ekonomi. Dina menghela napas. Memutar otaknya. Mencari cara agar Ririn tidak menjadi anak-anak yang putus sekolah.
“Mm, Ririn mau jadi adeknya Teteh nggak?. Ntar biar Papah nya Teteh yang bayarin sekolah Ririn. Gimana?” Dina tersenyum senang karena merasa bisa membantu mewujudkan mimpi Ririn. Ririn terdiam beberapa saat lalu menggeleng kencang.
“Nggak, nggak. Ntar nggak bisa ngamen dan ngojek payung lagi. Ntar berarti nggak ada duit buat obatnya si Ayah. Ririn kan mau Ayah sembuh!” Dina membelai rambut Ririn lembut.
“Rin, kalau sudah jadi adeknya Teteh. Ririn nggak perlu kerja di jalanan lagi. Pengobatan Ayah Ririn, sekolah buat Ririn, sepenuhnya Papah nya Teteh yang nanggung. Gimana?” Ririn kembali terdiam. Bibirnya yang kecil, terlihat maju mundur saat memikirkan sesuatu.
“Beneran Teh? Dibayarin Papah nya Teh Dina?” mata Ririn yang bulat berbinar-binar senang. Dina mengangguk lalu tersenyum.
“Asyik, asyik!. Ntar cerita sama Ibu ah. Ririn bisa sekolah kayak teteh kan? Pakai seragam kan? Pakai tas ransel gitu Ririn maunya yang ada gambar princess” Ririn berceloteh riang.
“Iya bisa Rin. Semuanya bisa, insyaAllah” Dina tersenyum.
“Asyyiiikkkkkkkk.......” ujarnya sambil tertawa. Dina merasa sangat bahagia. ‘Sudah cukup Ririn bekerja seperti ini. Sekarang saatnya dia mendapat dunianya..’ ujarnya dalam hati.
“Ririn pengen deh sekolah” tiba-tiba Ririn berkata seperti itu saat melihat Dina yang kebetulan memakai seragam putih abu-abunya, karena dia langsung berangkat kursus sepulang sekolah tadi.
“Beneran pengen?” Dina mencolek pipi Ririn. Ririn tertawa nyengir.
“Tapi ntar aja deh teh. Ririn mau cari duit dulu buat Ayah biar sembuh!” Dina merasa hatinya nyilu. Berapa banyak lagi anak-anak di negeri ini yang mempunyai mimpi seperti Ririn tapi tak pernah bisa terwujud karena keterbatasan ekonomi. Dina menghela napas. Memutar otaknya. Mencari cara agar Ririn tidak menjadi anak-anak yang putus sekolah.
“Mm, Ririn mau jadi adeknya Teteh nggak?. Ntar biar Papah nya Teteh yang bayarin sekolah Ririn. Gimana?” Dina tersenyum senang karena merasa bisa membantu mewujudkan mimpi Ririn. Ririn terdiam beberapa saat lalu menggeleng kencang.
“Nggak, nggak. Ntar nggak bisa ngamen dan ngojek payung lagi. Ntar berarti nggak ada duit buat obatnya si Ayah. Ririn kan mau Ayah sembuh!” Dina membelai rambut Ririn lembut.
“Rin, kalau sudah jadi adeknya Teteh. Ririn nggak perlu kerja di jalanan lagi. Pengobatan Ayah Ririn, sekolah buat Ririn, sepenuhnya Papah nya Teteh yang nanggung. Gimana?” Ririn kembali terdiam. Bibirnya yang kecil, terlihat maju mundur saat memikirkan sesuatu.
“Beneran Teh? Dibayarin Papah nya Teh Dina?” mata Ririn yang bulat berbinar-binar senang. Dina mengangguk lalu tersenyum.
“Asyik, asyik!. Ntar cerita sama Ibu ah. Ririn bisa sekolah kayak teteh kan? Pakai seragam kan? Pakai tas ransel gitu Ririn maunya yang ada gambar princess” Ririn berceloteh riang.
“Iya bisa Rin. Semuanya bisa, insyaAllah” Dina tersenyum.
“Asyyiiikkkkkkkk.......” ujarnya sambil tertawa. Dina merasa sangat bahagia. ‘Sudah cukup Ririn bekerja seperti ini. Sekarang saatnya dia mendapat dunianya..’ ujarnya dalam hati.
***
Dina melangkah tergesa-gesa keluar dari ruang kursusnya sambil membawa
bungkusan plastik berisi baju-baju untuk Ririn, calon Adik angkatnya.
Dina tersenyum lagi mengingat percakapannya dengan Papah tadi malam.
Papah menyetujui keinginannya untuk mengangkat Ririn sebagai Adiknya.
Papah telah menyatakan kesediannya untuk membiayai kehidupan Ririn. Dina
makin mempercepat langkahnya. Tak sabar rasanya menceritakan kabar
bahagia ini kepada Ririn. Sudah dapat dibayangkan ekspresi bahagia
Ririn dan goyang ngebornya yang selalu digunakan untuk mengekspresikan
kebahagiannya. Dina tersenyum geli.
Diluar hujan tampak mengguyur bumi dengan derasnya. Pasti saat ini, Ririn sedang berlari-lari di bawah hujan di luar sana, pikir Dina. Dina telah melangkah keluar dari tempat kursusnya. Betapa kagetnya Dina, saat menemukan sosok Ririn yang meringkuk kedinginan di depan tempat kursusnya. Tubuh kurus Ririn tampak menggigil.
“Ya Allah, Ririn kenapa??” Dina sangat khawatir, karena melihat bibir Ririn yang membiru. Diusapnya dahi Ririn, panas sekali, Ririn demam tinggi. Dipeluknya tubuh Ririn yang basah. Dina panik. Segera dihubunginya Pak Joko untuk cepat menjemputnya. Saat Pak Joko datang, tanpa pikir panjang rumah sakit menjadi tujuan utama Dina.
Diluar hujan tampak mengguyur bumi dengan derasnya. Pasti saat ini, Ririn sedang berlari-lari di bawah hujan di luar sana, pikir Dina. Dina telah melangkah keluar dari tempat kursusnya. Betapa kagetnya Dina, saat menemukan sosok Ririn yang meringkuk kedinginan di depan tempat kursusnya. Tubuh kurus Ririn tampak menggigil.
“Ya Allah, Ririn kenapa??” Dina sangat khawatir, karena melihat bibir Ririn yang membiru. Diusapnya dahi Ririn, panas sekali, Ririn demam tinggi. Dipeluknya tubuh Ririn yang basah. Dina panik. Segera dihubunginya Pak Joko untuk cepat menjemputnya. Saat Pak Joko datang, tanpa pikir panjang rumah sakit menjadi tujuan utama Dina.
***
Dina menangis tanpa henti. Dipeluknya dengan erat plastik berisi
pakaian yang akan diberikannya untuk Ririn tempo hari. Isak tangisnya
makin kencang, saat mengingat semua hal tentang Ririn. Banyak yang Ririn
ajarkan kepada Dina. Sifat bersyukurnya, kemandiriannya. Ririn tampak
sangat menikmati hidupnya apapun kondisinya.
Terngiang lagi segala celotehan Ririn. Tentang impiannya untuk keluarga. Tentang pekerjaannya. Tentang segala keinginan mendapatkan pendidikan yang selalu terkalahkan oleh keadaan. Ririn, salah satu contoh anak-anak negeri ini yang dunia masa kecilnya ‘mati’ gara-gara masalah ekonomi.
Dina menghela napas. Air mata itu menetes lagi. Ririn telah ‘pergi’ membawa segala mimpi. Kehilangan yang sama, luka yang sama pada sosok yang berbeda. Demam berdarah kembali merenggut nyawa orang yang disayanginya. Tiga hari setelah dirawat, Ririn pergi untuk selamanya. Tepat pagi tadi, diiringi tetesan hujan, jasad Ririn dikuburkan. Dan hujan masih saja tidak mau berhenti hingga sore ini. Hujan terus mengguyur bumi dengan derasnya, seperti ingin menunjukkan dukanya karena telah kehilangan salah satu gadis kecil mereka, Ririn.
Terngiang lagi segala celotehan Ririn. Tentang impiannya untuk keluarga. Tentang pekerjaannya. Tentang segala keinginan mendapatkan pendidikan yang selalu terkalahkan oleh keadaan. Ririn, salah satu contoh anak-anak negeri ini yang dunia masa kecilnya ‘mati’ gara-gara masalah ekonomi.
Dina menghela napas. Air mata itu menetes lagi. Ririn telah ‘pergi’ membawa segala mimpi. Kehilangan yang sama, luka yang sama pada sosok yang berbeda. Demam berdarah kembali merenggut nyawa orang yang disayanginya. Tiga hari setelah dirawat, Ririn pergi untuk selamanya. Tepat pagi tadi, diiringi tetesan hujan, jasad Ririn dikuburkan. Dan hujan masih saja tidak mau berhenti hingga sore ini. Hujan terus mengguyur bumi dengan derasnya, seperti ingin menunjukkan dukanya karena telah kehilangan salah satu gadis kecil mereka, Ririn.
***
0 komentar:
Posting Komentar