Kamis, 29 Maret 2012

Cerita Jam Dua Malam

Seperti biasa, gue emang paling nggak jago kalau disuruh ngungkapin perasaan pakai kata-kata langsung depan orang yang bersangkutan. Kecuali kalau gue emang udah mempersiapkan mental dan merangkai kalimatnya, semuanya pasti bakal jadi mudah aja.     

Dia yang akan gue ceritakan ini sedang berusaha keras menyelesaikan final projectnya demi sebuah tittle dibelakang namanya. Dan gue, demi apapun, adalah sosok yang akan selalu mendoakan dan mendukung dia. Gue selalu berusaha mengingatkan dia akan tujuan dan harapannya, tapi ya gitu dia nya emang suka banyak alasan, jago ngeles. Biasanya kalau dia udah gitu gue cuma nyahut, "Dasar Papah dua" dan dia cuma ketawa. Karena dia emang udah tahu betapa tengilnya bokap gue, yaaa sifat dia yang gitu mirip deh sama bokap gue. Ngeselin sih tapi entah kenapa selalu aja ngangenin. Bikin capek negornya tapi selalu nggak pernah bikin gue kapok buat bawel sama dia. 

Dan tadi siang gue salah ngomong, gue bodoh sih. Dia jadi salah paham, dia nganggap gue nggak mau dia lulus. Kata-kata gue dianggap doa, ketidakrelaan gue bisa jadi hambatan katanya. Demi apapun deh, gue pengeeeennnn banget lihat dia mencapai targetnya. Gue pengen jadi bagian tiap prosesnya.

Gue pengen ada di setiap proses itu. Menemani dia berpusing-pusing ria mengerjakan final projectnya sampai akhirnya dia selesai dan ribet buat daftar sidang. Terus pengen ngeledekin dia yang pasti bakal nervous setelah lihat jadwal sidangnya keluar, nonton dia sidang, kasih selamat plus pelukan saat dia dinyatakan lulus. Saat dia jadi seorang ST.

Gue jamin, gue orang pertama yang bakal peluk dia erat-erat. Karena gue tahu ini yang dia tunggu, ini yang dia harapin, ini yang pengen dia persembahin buat orang tuanya, buat keluarganya. Gue tahu itu bakal buat dia bahagia. Karena itulah gue selalu mendoakan, gue selalu mendukung dan mengingatkan. 

Tapi iya gue akui, gue takut dia pergi. Gue nggak rela dia jauh. Gue udah terlalu menikmati bersama dia, gue udah belajar biasa. Apalagi dengan sifat dia yang sangat amat protektif, memanjakan gue, menjaga gue banget. Makin aja gue ngerasa gue butuh dia, makin aja gue nggak rela.

Iya iya, gue tahu itu egois. Gue paham kok. Makanya gue nggak pernah ngomong apa-apa, gue diam aja. Lagian kalau gue ngomong bisa ngerubah apa?. Kalau dia tetep dan hanya di sini, dia nggak berkembang dong. Lagian dunia dia, bukan hanya tentang gue kan?. Sadar diri lah gue. Hal baik yang harus gue lakukan adalah mendukung dia, selama apa yang dia lakukan emang berdampak positif. 

Gue juga nggak mau mikirin sih dan ngebawa ke hati banget soal bakal jauh sama dia. Karena udah pasti gue akan pakai air mata segala mikirinnya. Tapi sebenarnya apa susahnya sih?. Gue kan hanya tinggal kembali ke kehidupan gue yang dulu. Apa-apa sendiri, kemana-mana sendiri.

Saat ini harusnya gue benar-benar menikmati (sisa) hari-hari gue bersama dia (dalam jarak dekat). Kalaupun bakal nangis, kalaupun bakal sedih. Ya sudah itu perkara nanti, sekarang ya sekarang. Daripada sibuk dengan perasaan resah gue, lebih baik gue sibuk mendukung dan mengingatkan dia untuk cepat-cepat menyelesaikan final projectnya. Sure you can do! :)

0 komentar:

Posting Komentar