Jumat, 30 Maret 2012

Juni 2011: Tidak untuk dikenang (lagi)

Buat apa ada kata-kata jika itu hanya membuat luka.
Apa segitu susahnya menyampaikan apa yang kita rasa?

Apa yang harus dilakukan untuk menyampaikan perasaan?

Mengatakannya sesuai harapan.
Knp? knp nggak pernah ada yang paham?

Aku tahu. Sangat tahu. Sungguh-sungguh tahu.

Bahwa nggak akan ada yang benar-benar paham.
Karena itu.
Aku memilih diam, aku nggak pernah mengatakan.
Aku membisu. Menyudut membeku dalam dimensiku.

Aku nggak pernah meminta ada yang mengerti.

Karena itu.
Aku hanya menyimpannya dalam hati.
Membiarkan mimpi-mimpi itu pergi. Terkubur pada kedalaman yang tak terjangkau lagi.

Setelah itu aku (berusaha) lupa. Dan pasti (berusaha) tanpa luka.


Aku memang begini.

Sendiri. Sepi. Dan mandiri.

Aku memang begini.

Aku begitu takut disakiti dan menyakiti.

Karena itu.

Jangan memaksa. Jangan paksa aku untuk terbuka.

Aku trauma.
Benar-benar trauma.

Hingga aku tak bisa menjelaskan rasanya.
Hingga membuat kalian tak percaya.
Menyangka aku berlebihan, karena kalian tak akan PAHAM!

Karena itu.

Biarkan aku begini. Biarkan aku terus seperti ini.

Karena aku tak ingin kalian seperti dia.

Yang (mungkin) menemukan lelahnya setelah sekian lama berusaha mengerti dan memahami.
Dan akhirnya menyadari bahwa aku memang begitu sulit untuk ditelusuri.

Lalu aku kehilangan.

Segala pegangan. Semua dukungan.
Satupun tak dapat kutemukan.

Itu yang aku rasa!

Iya hanya aku.
Karena kata dia, dia sudah begitu berusaha mendukungku, mencintaiku.
Sepenuh hatinya, setulus jiwanya, selelah-lelah batinnya.

Aku tahu.

Bukan. Bukan itu maksudku.
Bukan menyalahkanmu. Apalagi mencari kekuranganmu.

Aku membisu.

Lagi-lagi aku terdiam.
Kali ini, terbungkam dalam tangisan.

Kenapa?

Aku harus bagaimana?
Apa yang aku rasa? Apa yang salah dari kita?

Aku hanya bisa bertanya.

Tak bisa menyampaikan yang aku rasa. Benar-benar yang aku rasa.
Hingga menyakitiku.

Aku terluka...


Tapi aku tahu, itu tak pantas aku katakan.

Karena itu juga yang kamu rasakan.

Aku begitu takut saat kita berbicara.

Saat kamu memintaku terbuka, ingin mengetahui apa yang aku rasa.
Karena aku tak bisa mengatakannya.

Bukan. Bukan karena tak percaya.

Hanya saja, aku tak ingin ada air mata.

Segala perasaan yang kita bicarakan.

Berujung perdebatan. Menghasilkan perkelahian.
Dan kita hanya terdiam.

Menahan gejolak amarah. Setiap rasa gelisah.

Air mata. Luka.
Lengkap rasanya segala trauma..

Aku tak kan memintamu. Tak kan menuntutmu.

Karena itu.
Jangan paksa aku lagi mengatakannya padamu.

Aku memang begini.

Begitu sulit dipahami.
Sejujurnya aku tak ingin sendiri. Tak ingin tanpamu jalani hari.

Tanpa kamu sadari.

Hanya padamu aku membuka hati.
Menunjukkan jati diri.

Segala kelemahan. Segala tangisan.

Segala rasa-rasa yang kusimpan segenap jiwa, yang tlah kujadikan rahasia sekian lama.
Hingga aku terlihat dewasa, terlihat kuat menghadapi segalanya.

Itulah aku. Itu yang mereka tahu.

Tapi itu bukan aku. Bukan diriku.

Sebenar-benarnya aku, sedalam-dalamnya hatiku.

Saat aku berdiri didekatmu.
Terdekap erat di dadamu, menangis di hadapanmu..

Dan aku tak pernah malu.

Karena itu kamu.
Satu-satunya yang kupersilahkan mengenalku.
Menjelajahi hidupku.
Menelusuri hatiku.
Merubuhkan tembok 'kepalsuanku'.
Mengetuk pintu 'dimensiku'.

Mengetahuiku. Menghadapi sifatku.

Mungkin itu melelahkanmu.
Maafkan aku..

Karena itu.

Biarkan aku begini. Biarkan aku terus seperti ini.
Aku memilih diam. Biarkan aku menyimpan.

Karena yang akan ku katakan, yang kini aku pikirkan.

Tak kan ada kata-kata yang pantas menyampaikan.
Tak kan bisa menggambarkan yang kurasakan.

Tanpa membuat segalanya menyakitkan atau mempermainkan kesabaran.

Karena itulah resiko keterbukaan, sayang...

0 komentar:

Posting Komentar