Tidak
terasa berlebihan (buat saya secara
pribadi) kalau 2016 saya anggap sebagai tahun terberat di hidup saya. Tahun
dimana saya merasa sangat sendirian, terpuruk dan berusaha sangat keras untuk
tetap waras ;)))))
Semua
diawali dengan kepergian lelaki yang sangat amat saya cintai sepenuh hati saya
di penghujung tahun 2015, Papah.
Papah
‘pergi’ untuk selamanya sekitar jam 11.00 WIB hari Rabu, 16 Desember 2015 di
Surabaya tanpa saya ada disamping beliau. Anak perempuan kebanggaan Papahnya
ini sebulan sebelumnya baru saja ditugaskan di Gorontalo. Saya ingat sekali
betapa terpukulnya beliau saat saya mengabarkan tentang penempatan saya, beliau
menolak bicara dengan saya lagi di telepon saat itu. Saya paham. Betapa saya
pun rasanya ingin menentang takdir dan meminta Allah memahami betapa saya
sangat ingin menemani Papah yang kondisinya kian hari kian memburuk. Tapi saya siapa
sih? Saya cuma manusia, banyak dosa pula, ya tugas saya hanya menerima dan wajib
meyakini bahwa takdir Allah selalu baik adanya.
Jadi
semenjak Papah ‘pergi’ dimulailah hari-hari terkelam dalam hidup saya. Bayangkanlah,
si putri kalimantan anak perantau yang nggak punya siapa-siapa di Gorontalo ini
harus menghadapi bulan-bulan awal kehilangan papah sendirian, jauh dari
keluarga.
Bulan
pertama saya harus kebal hati menerima segala ucapan duka cita soal Papah dan
pertanyaan “Papah meninggal kenapa?”
Rasanya saya mau buat video dan upload ke YouTube, jadi yang pada nanya saya
kasih linknya aja buat nonton hahaha.
Mereka nggak paham kali yak, setiap mereka nanya saya mati-matian nahan nangis.
Tapi ya segala pertanyaan dn ucapan itu saya anggap perhatian dan doa saja.
Alhamdulillah daripada didiemin kan ya hahaha
Kerjaan
saya tuh ya 3 bulan pertama: bangun pagi
mata sembab - ngantor sok happy - fokus gilagilaan sama pekerjaan - pulang
malam banget – mandi sambil ngelamun - nangis2 pas solat – ngelamun - lihat
foto Papah - nangis sampai ketiduran - kebangun sekitar jam 1 an malam - nangis
lagi sampai subuh – ketiduran - REPEAT!
Itu
belum lagi ditambah adegan nangis di ruangan pas dikantor, nangis di musholla
kantor pas solat atau mewek diam-diam di kamar mandi kantor. Lalu saya sering
banget skip makan, pernah malah 2-3 hari nggak makan. Hobi saya: nangis nangis
nangis. Belum lagi kalau bangun pagi suka kebingungan gimana nutupin mata
sembab hahaha
Duh
berat deh.
Saya
benar-benar merasa sendiri saat itu. Saya dikenal sangat mandiri di keluarga,
itulah mungkin alasannya nggak pernah ada yang sibuk tanya kabar saya setelah
saya kembali ke Gorontalo. Saat dikantor saya harus professional, saya sadar
diri saya orang baru, first impression itu
penting. Saya nggak mungkin dong menunjukkan muka sembab, bermuram durja kepada
orang-orang yang belum ada 1 bulan mengenal saya. Di sisi lain lain saya juga
terus memantau keadaan Mami dan saudara saya di rumah. Saya sebegini hancurnya
tapi saya nggak mau mereka merasakan hal yang sama. Terakhir sebelum Papah
nggak bias bicara lagi beliau bilang bahwa saya harus menjadi contoh buat Adek
saya dan menjaga Mami. Itu nggak akan pernah saya lupa. Nggak akan.
Bulan
ke 4 itu puncak stress saya kayaknya. Ada beberapa kejadian yang buat saya
semakin terpukul. Sehari sebelum ulang tahun saya yang ke-25 saya sempat ke
makam Papah di Solo, sendirian, saking
nggak tahan lagi menanggung (apa yang saya anggap) beban. Pagi dan sore saya
kesana, juga besok paginya sebelum ke bandara. Disana cuma berdoa sambil nangis
tersedu-sedu, diliatin ibu-ibu pembersih makam dan driver taksi hahaha.
Akhirnya si sopir taksi ikut berdoa disamping saya sambil bilang semoga anak
perempuannya juga sebegitunya menyayangi dia seperti saya ke Papah saya :’)
Sesampainya
saya di Gorontalo saya malah sakit, tapi tetap nekad ngantor, nggak bilang
siapa-siapa padahal tiap malam demam dan muntah tiap hari. Asli sok kuat! Saya juga
sebel kalo inget saya yang begitu hahaha
Dan
pada akhirnya ketahuan orang-orang kantor. Duh bukan cuma beberapa orang kantor
yang baiknya kebangetan ke saya tapi juga orang tua mereka. Saya dirawat pas
sakit kayak anak sendiri. Pengen nangis. Saya benci merepotkan orang. Paling
nggak mau bikin orang lain susah karena saya. Rasanya terlalu drama. Tapi
gimana saya memang butuh bantuan orang saat itu. Saya dipaksa opname, padahal
saya masih trauma sama rumah sakit. Sakit tipus, maag, luka lambung jadi satu.
Sebulan saya hanya makan bubur dan telur rebus. Ya Tuhannnn betapa saya sampai
sekarang nggak mau lihat makanan itu hahaha
Dari
peristiwa drama saya sakit itu, saya bertekad untuk lebih kuat dan mengurangi
memikirkan hal-hal nggak penting yang bikin tambah stress. Saya banyakin explore tempat wisatanya Gorontalo
bersama sahabat2 saya yang terasa seperti keluarga (cek IG aprilsherly buat lihat foto-foto piknik saya :p wkwkwk). Dari
sini juga saya mulai menenangkan diri dan menimbang-nimbang banyak hal penting
untuk masa depan saya. Apapun yang terjadi dan kemana saya melangkah, kebahagiaan
Mami adalah salah satu hal yang nggak mau luput saya perhitungkan.
Saat
menulis ini, saya belum bisa bilang saya 100% ‘pulih’ tapi yang saya tahu saya
tidak seterpuruk setahun lalu. Kehilangan Papah membuat saya membuka mata untuk
banyak hal yang seharusnya saya syukuri, sekecil apapun itu.
Setahun
lalu adalah tentang kehilangan, merelakan, menemukan dan memantapkan.
Setidaknya
sekarang saya tahu siapa dari mereka yang bersedia ada tanpa saya minta. Saya
juga telah menemukan seseorang yang memberikan definisi lain dari ‘rumah’.
Nyaman, hangat dan tempat saya kembali sejauh apapun saya melangkah. Bersamanya
memang tidak selalu menyelesaikan masalah yang dihadapi tetapi membuat beban begitu
terasa ringan dan yakin semua bisa terlewati. InshaAllah :)
2016.
Dibuka
dengan luka,
ditutup
dengan doa dan syukur yang tiada putusnya.
0 komentar:
Posting Komentar